Saturday, August 21, 2004

Kota Tanpa Ruang Bermain

oleh: Joni Faisal*

HARI Minggu atau hari libur, mungkin hari paling tepat untuk menyaksikan bahwa Jakarta sesungguhnya kekurangan ruang bermain, terutama bagi anak-anak. Kita dapat melihat, betapa padatnya Senayan oleh lautan manusia yang berebut mencari ruang olahraga di Minggu pagi. Anak-anak yang bermain bola, sepeda, otopet, roller blade, skate board, bulu tangkis, dan kereta dorong bayi berbaur menjadi satu di antara pedagang kaki lima.
Di sana hampir tidak dapat dibedakan lagi, mana ruang olahraga mana pasar. Demikian juga di lingkungan Monumen Nasional atau tempat rekreasi lainnya. Sehingga keberadaan kaki lima itu, seolah-olah sah-sah saja di mana pun tempat yang mereka inginkan, termasuk juga di taman-taman kota.

Jadilah anak-anak kehilangan ruang bermain yang memang sudah langka. Akibatnya, tempat-tempat yang bukan selayaknya menjadi tempat bermain anak-anak, menjadi pelampiasan sebagai ruang bermainnya. Tidak jarang taman-taman yang seharusnya terawat dijadikan lapangan bola, tempat bermain layang-layang, bahkan arena balap sepeda. Anak-anak yang lain mencari tempat di jalan-jalan, di bawah jembatan layang, di halaman kantor, bahkan di jalur hijau, hanya sekadar untuk tempat bermain.

Karena anak-anak memiliki energi untuk beraktivitas lebih besar dan lebih lama dibanding orang dewasa dalam hal bermain, maka wajar jika mereka membutuhkan ruang yang lebih luas. Ironisnya, ruang itu kadang tidak mereka dapatkan di rumah, sekolah, maupun di tempat-tempat yang seharusnya disediakan oleh negara.

Tidak heran jika ruang ekspresi itu menjadi salah sasaran, seperti bermain di atap kereta, tawuran antarsekolah, nongkrong di mal, juga kebut-kebutan di jalan.


***
BUKAN cuma anak-anak Jakarta saja yang kehilangan ruang bermainnya. Prediksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencatat, diperkirakan hingga tahun 2005, separuh dari 6,5 milyar penduduk dunia akan hidup di daerah perkotaan. Artinya, separuh anak-anak dari jumlah penduduk dunia itu, semakin hari semakin kehilangan tempat bermainnya.

Namun, yang kita lihat di Jakarta sebenarnya lebih parah. Hak-hak anak atas ruang bermain itu semakin hari semakin sempit, bukan saja oleh kaki lima atau pembangunan yang tidak berorientasi kepada masa depan anak-anak, melainkan juga pemerintah sama sekali tidak memiliki kebijakan tentang ruang tersebut. Sekolah-sekolah berdiri tanpa halaman, gelanggang remaja dan arena bermain dibuat sangat sedikit, juga tempat rekreasi yang menyediakan ruang bermain bagi anak-anak, orang harus membayar tiket yang relatif mahal.

Dari sini kita melihat, pemerintah hanya menginginkan sisi komersial dari setiap pembangunan ruang bermain itu. Bukan semata-mata memberikan hak yang sepatutnya diterima masyarakat, khususnya bagi anak-anak.

Sebenarnya bagi anak-anak sendiri, ada atau tidak adanya ruang bermain itu, tidaklah begitu menjadi masalah. Sebab secara alami, mereka telah memiliki kemampuan menemukan ruang bermainnya sendiri. Tetapi masalahnya, ruang bermain tersebut kondusif atau tidak adalah tanggung jawab orang dewasa.

Semua anak-anak di mana pun di seluruh penjuru dunia pasti mencita-citakan tempat bermain yang layak. Seperti dalam suatu penelitian di sekolah dasar di Berkeley, Amerika Serikat. Seorang putri berusia delapan tahun, mengisi kuesioner mengenai rencana pembangunan halaman sekolahnya. Bunyinya: "Saya sangat membenci halaman sekolah yang penuh dengan garis, lantainya kasar dan bisa melukai, juga yang terbuat dari aspal. Dan halaman sekolah yang saya inginkan harus ada tangga berjajar, pohon-pohon, rumput, burung, kolam ikan dan taman bunga." (Wilkinson: 1980)

Nah, bagaimana dengan anak-anak Jakarta. Dapatkah mereka kesempatan untuk "urun rembuk", dalam hal membangun ruang bermain yang mereka inginkan walaupun sebatas halaman sekolah?

Tentunya dalam hal ini, kita tidak dapat diam saja. Sudah seharusnya ada orang yang menuntut pemerintah untuk memenuhi kewajibannya menyediakan lebih banyak ruang bermain, tempat rekreasi yang murah dan membebaskan ruang yang ada dari pengguna yang tidak berhak.

Pentingnya ruang bermain bagi anak-anak di kota, lebih-lebih dari kebutuhan sekunder. Pearce dalam Magical Child (Wilkinson, 1980) mengungkapkan, ruang bermain merupakan tempat di mana anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya. Tempat di mana mereka membuat kontak dan proses dengan lingkungan, serta yang tak kalah penting adalah membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan.

Dari tempat bermain pula, anak itu belajar sportivitas, disiplin dan mengembangkan kepribadiannya.

* Joni Faisal, pemerhati perkotaan.

(dimuat di Kompas Rabu, 21 Maret 2001)